The Road's Tears

11:15

Ketika dua truk masif bertemu

Jangan bayangkan saya layaknya si mulus Thamrin. Atau mereka yang diamanati untuk menghias ratusan kilometer tol Jawa. Haha, saya ingin merendah. Saya hanyalah jalan yang sudah kecil, sempit, rusak, lagi. Tapi boleh kan, saya meninggi. Begini-begini, peran saya besar. Andaikan raga saya tiada, kalian Jakarta kehausan semua. Mengapa? Karena setiap hari puluhan truk Aqua melindas saya dengan jutaan galonnya. Berterimakasihlah :)

Sebut saya profesional. Bagaimana tidak, semua material jalan pernah saya rasakan. Aspal? Beton? Kerikil? Batu kali? Pohon pisang? Iya, pohon pisang. Buat nutupin lubang agar kalian tidak nyebur sungai. Aspal, dari yang digosipkan lima tahun akan bertahan hingga yang baru menginjak satu bulan sudah keropeng sana-sini. Beton? Hm, gara-gara mereka saya sudah seperti remaja. Tambah tinggi! Bahkan rumah di pinggir saya itu harus disapu tiap waktu saking melimpahnya debu.

Terlepas dari itu semua, sebenarnya masalah saya ada tiga lagi. Yang pertama: beban. Seperti yang sudah saya paparkan sebelumnya, beban saya sungguhlah berat. Baik kendaraan maupun muatannya. Bah, mereka sama saja. Padahal saya diciptakan bukan untuk mereka. Tapi bisa apa saya? Kelak suatu hari saya akan rusak jua. Pemerintah setempat toh pasti menambal saya. Mereka kan diuntungkan pula. Win-win!
Yang kedua lebih mematikan: soda api. Belum pernah dengar? Soda api itu nama lain NaOH atau natrium hidroksida (pelajaran kelas 10, haha). Kalau tidak salah (bener kok), dia termasuk basa kuat. Kalau dilarutin ke air, dia bisa menghasilkan panas. Kebayang kan, kalau dia ketemuan sama saya? Entah kenapa si manusia itu suka iseng menebarkan soda api di sepanjang tubuh saya. Alhasil, terbentuklah lubang-lubang bulat yang letaknya ganjil dirasa. Memang tidak terlalu dalam. Tapi seiring waktu, lubang-lubang tadi malah membesar dan 'mendalam', terkikis air.

Yang terakhir merupakan keteledoran standar di Indonesia: drainase. Idealnya, hidup saya harus selalu ditemani dia. Menjadi jalan saja sudah sulit, masa' kini saya harus berperan ganda menjadi sungai ketika penghujan? Beberapa memang memilki drainase. Tapi lucunya, kok mereka kedudukannya lebih tinggi dari saya? Memangnya daya kapilaritas bekerja di sini? Semua orang pasti tahu, air mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Jadinya saya harus ikut merasakan derita, deh. Padahal keseringan kena aliran air bisa membuat saya terkikis. Sekali lagi: ya sudah, terima saja.
Ya, mungkin cuma segini saja tangisan saya. Kalian tidak perlu ikut iba. Cukup doakan saja, semoga ada orang cerdas yang rela ulurkan tangannya. Mungkin saat itu kalian sudah dapat lihat saya tersenyum.

No comments:

Powered by Blogger.